In

Merasakan Kesedihan Itu

Oktober masih tersisa sepuluh hari lagi, tapi banyak kabar mengejutkan datang. Salah satunya tentang dia yang gagal menikah dengan perempuan yang dijodohkan keluarganya.

Ketika dikabari langsung mengenai hal itu, hanya satu respons saya: kaget. Sepersekian detik saya coba mencerna isi pesannya. Saya coba baca dua kali pesannya. 

Secara logika dan nalar dari pihak yang gayungnya tidak bersambut beberapa waktu lalu, saya seharusnya senang mendapatkan berita itu. Dalam teori dendam, bukan hanya saya yang sedih berurai air mata ditinggal pergi dia, tapi kini dia merasakan hal yang sama ditinggal orang lain. 

Tapi itu secara logika, yang anehnya tidak saya dapatkan dalam diri saya ketika mendengar kabar itu sampai hari ini. Yang saya rasakan adalah kesedihan. Kesedihannya. 

Kondisi ini berbeda dengan ketika di waktu yang lain, dia mengabari ditinggal orang yang sedang didekatinya menikah dengan orang lain. Saat itu, ada sedikit rasa puas di dalam hati saya, meski rasa sedih lebih mendominasi. 

Tapi kali ini beda. Entah kenapa saya merasakan kesedihan dalam dirinya. Dan tentu saja saya ingin menghiburnya, tapi hanya kata sabar yang bisa saya ucapkan padanya, merespons pesan dia. 

Lantas dia membalas pesan itu. Katanya tidak masalah, nanti akan diberikan yang terbaik. Tentu saya balas dengan mengamininya. Berharap dia bisa menemukan orang yang bisa menerima dia apa adanya. 

Tapi, pesan saya tidak dibalas lagi. Bahkan tidak dibaca sampai hari ini, usai seminggu berlalu.

Selama ini saya tidak pernah membayangkan atau bahkan berharap lamarannya ditolak orang lain. Ketika dulu dia memberi kabar berencana menikah dengan pilihan orangtuanya, bagi saya jalan untuk bisa berinteraksi dengannya seperti sebelum pandemi sudah tidak ada lagi. Saya mencoba menerima kenyataan dan menyelesaikan kesedihan saya sendiri kepada Ilahi. 

Karenanya, saya tidak tau apa yang harus saya lakukan sekarang. Saya bahkan takut akan berharap lagi kepadanya dan memang seharusnya tidak boleh menaruh harap pada manusia sebagaimana Ali bin Abu Thalib bilang bahwa kesedihan dalam hidup yang paling pahit adalah berharap pada manusia. 

Begitulah, sebagai manusia lemah, yang bisa kita lakukan hanya memohon kekuatan pada pencipta. Dan itu yang juga saya mintakan untuknya. Semoga itu bisa membantunya dari jauh. 

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

Rusak Pertemanan Karena Sebuah Pengakuan

Beberapa hari lalu, secara tidak sengaja, saya mendengarkan lagu You've Got a Friend in Me yang dinyanyikan Randy Newman. Lagu itu menjadi original soundtrack film animasi Toy Story yang dirilis 2015 lalu.

Liriknya kira-kira begini: 

You've got a friend in me
You've got a friend in me
When the road looks rough ahead
And you're miles and miles from your nice warm bed
You just remember what your old pal said

Boy, you've got a friend in me
Yeah, you've got a friend in me

Mendengar liriknya mengingatkan pada nasib pertemanan saya yang kini rusak hanya karena sebuah pengakuan. Kalau waktu bisa diputar, saya mungkin akan berpikir matang-matang sebelum mengaku suka dengan teman sendiri. Teman yang sebelum pandemi COVID-19 selalu ada di samping saya. Teman yang sebelumnya tidak pernah saya notice sekalipun. 

Teman yang begitu saja datang, lahir dari berbagi cerita tentang dunia pekerjaan kami. Teman yang terbentuk dari pertemuan di kafe atau tempat nongkrong sejenisnya sehabis pulang kerja. Teman yang sering menelpon dan memberi banyak perhatian yang sebelumnya tidak pernah saya minta. 

Lalu saya terjebak pada perasaan suka. Mungkin ini yang namanya friendzone, yang sebelumnya saya tidak pernah mengalaminya. Ternyata friendzone amat berat sampai akhirnya saya mengatakan yang sejujurnya karena lelah menduga-duga. 

Sebuah keputusan yang belakangan saya sesali. 

Menyesal bukan karena saya ditolak (meski ini buat saya nangis sejadi-jadinya), tapi karena saya tidak tahu setersiksa itu melihat hubungan pertemanan kami yang renggang setelah serentetan kejadian yang seharusnya tidak pernah dan tidak perlu terjadi. 

Saya kehilangan teman makan mie Golden Lamian kesukaan kami di mal. Kehilangan teman bercerita tentang pekerjaan yang kadang begitu membosankan dan melelahkan. Kehilangan teman ngobrol tentang apa saja yang muncul saat mampir ke kafe di Jakarta. Kehilangan teman yang menemani saya selagi menunggu umi di rumah sakit. 

Kehilangan teman saat bercanda mengenai SPBU Pertamina dan SPBU Shell. Kehilangan teman meledek saat dia tidak tahu caranya memasak nasi di magicom. Kehilangan teman yang harus berlari-lari ke bioskop karena sudah telat akibat ban motor bermasalah.

Membuka chatnya saat ini terasa sangat berat. Tapi lebih berat lagi manakala dia tidak membalasnya. Padahal obrolan kami yang singkat dan semakin langka itu belum selesai. 

Saya berpikir pasti dia terbebani oleh apa yang sudah terjadi di antara kita setelah pengakuan itu. Tapi saya juga tidak tahu lebih dalam bagaimana sebenarnya dia melihat hal ini semua. Dia sangat irit bicara setelah itu. 

Saya bisa apa kalau chat terakhir tidak dibalasnya? Tentu saja hanya diam. Diam dan diam melihat pertemanan kami yang rusak. 

Di masa lalu, saya pernah mengaku suka juga dengan seseorang. Tapi karena kami tidak memiliki hubungan pertemanan yang dekat, tidak pernah muncul penyesalan. Kala itu saya malah merasa menang atas perasaan saya sendiri. Memang saya kalah karena bertepuk sebelah tangan, tapi di saat bersamaan saya merasa menang karena berhasil mengalahkan kebingungan saya selama ini terhadap perasaan suka yang muncul. 

Bagi saya itu sebuah kemenangan karena saya berhasil mengalahkan kegalauan dalam diri saya. Saya harus merdeka atas perasaan saya sendiri. Begitu kira-kira hal yang saya kuatkan saat mengaku suka. Tapi rupanya kondisi itu tidak sama dengan pengakuan saat ini karena kami berteman baik yang kini semakin renggang.

Sampai di sini, saya bingung harus berbuat apa. Pandemi membuat kami berjarak, persis seperti arahan pemerintah untuk physical distancing. Saya hanya bisa berdoa agar dia bisa kuat melewati pandemi yang berat ini bersama keluarganya, sehat-sehat, rejekinya kian lancar, dan diberikan kebahagiaan dunia akhirat. Sesama anak pertama, saya berharap dia bisa kuat berdiri.

Kadang saya ingin mendekapnya saat dia membuat status lelah di masa pandemi, meski saya enggak tahu lelahnya karena apa. Kadang saya ingin mendengar cerita-ceritanya dengan dialeknya yang kentara itu sambil menikmati kuah mie Golden Lamian seperti pada lanjutan lirik You've Got a Friend in Me: 

You've got troubles and I've got 'em too
There isn't anything I wouldn't do for you
We stick together and can see it through
'Cause you've got a friend in me
You've got a friend in me
Some other folks might be a little bit smarter than I am
Bigger and stronger too, maybe
But none of them will ever love you
The way I do, it's me and you, boy

And as the years go by our friendship will never die
You're gonna see it's our destiny
You've got a friend in me 


I'm your best friend. 

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Kontemplasi

Tidak Bisa Tidur

Menjelang habisnya hari leyeh-leyeh, saya tidak bisa tidur malam ini. Badan pegal, tapi rasa kantuk tidak kunjung mampir. Yang terjadi justru ada banyak hal berdatangan di otak di jam-jam segini. Tentang motivasi hidup, tentang ketakutan, tentang harapan, tentang hobi yang makin jarang dilakukan, dan tentang lain-lain. 

Saya pun memutuskan membuka Twitter, melihat apa yang menarik dari obrolan orang-orang di beranda. Dan isinya ya biasa saja, hal-hal yang sering dicuitkan kebanyakan.

Bosan. Saya buka Instagram. Media sosial yang sudah jarang saya buka tahun ini. Di platform ini, tidak banyak waktu yang saya habiskan. Hanya membuka DM dan tidak ada pesan baru yang masuk. Melihat beranda sekenanya dan mengecek dua akun. Akun pertama, dia yang saya hide sejak tahun lalu karena suatu sebab. Saya sampai harus mengucap bismillah saat hendak membuka IG story-nya. 

Akun kedua, secara random saya kepikiran salah satu teman kuliah saya. Teman belajar menulis sewaktu di Ciputat.

Saya lihat di bio ada link website. Ternyata blognya. Saya membaca satu tulisan teratasnya. Artikel pendek yang menceritakan sikapnya terhadap sesuatu. Saya lanjut baca artikel di bawahnya, bercerita tetang semangatnya yang muncul lagi untuk menulis di blog.

Membaca dua tulisannya seperti saya sedang melihat diri sendiri. Tiba-tiba saya menangis. Menulis, bagi saya adalah bagian tak terpisahkan dari diri saya. Selain sebagai pekerjaan utama, menulis juga bagian dari melepaskan beban-beban yang ada, yang saya tulis di blog ini. Bagian dari kontemplasi. 

Karenanya, saya langsung membuka laptop dan menulis artikel pendek ini. Dan saya berharap bisa segera tidur begitu artikel ini selesai.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In

Puasa Instagram

Perlahan tapi pasti, saya mulai bisa melepaskan diri dari keinginan bermain Instagram. Mungkin sudah sekitar tiga bulan sejak memutuskan ganti password, lalu uninstall dengan niat paling serius: mari puasa Instagram, tinggalkan segala momen yang orang-orang bagikan setiap harinya di aplikasi ini.

Dalam proses puasa IG itu, saya pernah sekali menonaktifikannya, meski akhirnya saya aktifkan lagi karena harus membuka sebuah akun berkaitan dengan kerjaan kantor. Setelah itu, saya putuskan cukup uninstall saja karena saya pikir sesekali pasti saya perlu membuka akun ini untuk keperluan mendesak. Itu pun saya lakukan melalui web, bukan dari aplikasi. 

Alasan paling mendasar puasa IG saat itu adalah saya tidak kuat untuk nggak kepo dengan salah satu akun orang yang saya suka. Di saat bersamaan, saya juga nggak kuat untuk melihat unggahannya.

Mulanya, saya mute konten feed dan story-nya. Cara ini sebenarnya bisa menahan saya untuk nggak kepo. Tapi, sesekali penasaran dan setiap mampir ke akunnya, selalu ada perasaan sesak di dada meski kontennya tidak ada hubungannya dengan saya.

Tentu saja tidak ada hubungannya dengan saya, karena he's just not that into me. Intinya, saya selalu tersiksa setiap kali melihat dia update, apapun isinya. Membuat saya overthinking, hal yang sering dialami mereka yang rasa sukanya bertepuk sebelah tangan. A.l.w.a.y.s.

Karena perasaaan sesak di dada itu selalu berulang, saya putuskan pergi dari IG. Berharap bisa dalam periode yang lama bahkan selamanya tidak menengok kehidupan di aplikasi itu, seriuh apapun suasananya. Ditambah, saya juga mulai empet lihat unggahan orang lain. Bukan iri dengan kebahagian orang lain atau merasa tak empati dengan kesusahan yang mereka bagikan, tapi otak saya merasa penuh dengan semua informasi yang terlihat dan masuk ke memori otak.

Dan saya bersyukur bisa perlahan lepas dari IG, akun yang pernah membuat saya menggunggah konten minimal setiap hari saat kuliah. Seiring dengan banyaknya teman di IG, terutama dari kalangan dunia kerja, saya juga merasa tidak bebas menggunggah sesuatu. Bentar-bentar merasa takut unggahan alay atau terlalu norak. Padahal, mungkin unggahan itu biasa saja. Lagi-lagi yang ada overthinking

Selama ini, sebenarnya banyak keuntungan yang saya dapat dari aktif di IG, salah satunya mendapatkan uang karena menang lomba konten atau ketika jualan dan barang diborong sampai jutaan rupiah.

Tapi lebih dari itu, saya ingin istirahat dari hingar-bingar yang ada di IG. Saya ingin menutup rumah kenangan yang begitu ramai tapi diam-diam menyesakkan dada.

Saat ini, hanya Twitter aplikasi yang sering saya buka. Saya merasa bebas di aplikasi ini, meski saya agak menyesal ada dua orang yang pernah saya suka malah mutualan. Padahal, salah satu dari mereka menjadi alasan utama saya puasa IG. Hadeh!

Mestinya, dulu tidak saya approve ya, hehe. Tapi kan waktu itu belum ada benih-benih suka, ckckck. Mau saya block atau unfollow, tapi kok kejam banget dan nggak elegan. Saya juga nggak mau putus silahturahmi dengan mereka. Satu-satunya cara ya saya mute juga unggahan mereka di Twitter. Semoga saya kuat. Harus kuat. 

Dibandingkan Instagram, kesakitan di Twitter tidak terlalu parah (meski kadang bisa tiba-tiba nangis). Saya masih bisa menemukan hiburan di aplikasi ini, saya juga lebih bebas mengoceh di sini meski tetap saja ada batas karena merasa ada dua orang itu.

Metode lepas dari hal-hal seperti ini sebenarnya pernah saya lakukan saat kuliah dulu, masa di mana pamor Facebook lagi tinggi-tingginya. Saya memutuskan hide semua aktivitas Facebook mantan saya. Pacar pertama yang hmmm jadiannya sebentar tapi moveon-nya subhanallah lama banget karena sering ketemu di kampus. Kalau diinget lagi sekarang sih jadinya menertawakan kebodohan yang dulu. Kok bisa ya dulu sebucin itu, hahaha.

Begitulah dulu saya "melepaskan" diri dari Facebook. Sekarang, sesekali membukanya karena berhubungan dengan kerjaan juga. Tapi, lebih dari itu, rasa sesak di dada dulu sudah sirna. 

Melihat Facebook sekarang seperti diajak reuni. Melihat lagi hal-hal yang terjadi semasa SMA dan kuliah, terutama keseruannya. Semoga itu bisa saya dapatkan kelak dari IG ketika masa puasa ini selesai.

Sekian.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Perpisahan

PAMIT


Kata orang, tak ada yang lebih menyedihkan dari sebuah perpisahan. Seperti kematian, meski pahit, yang ditinggalkan tak bisa berbuat apa-apa jika sudah waktunya.

Dan hari kematian itu telah tiba.

Di sore hari yang melelahkan karena menunggu keputusan DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara menjadi Undang-Undang yang sah, saya memutuskan menarik semua tulisan yang pernah dimuat dalam blog ini.

Tak akan ada lagi artikel sedih menunggu seseorang seperti lima tahun lalu, tak ada lagi kisah perempuan yang mempertanyakan kenapa dalam hubungan pacaran yang baik-baik saja harus berakhir.

Lebih jauh lagi, tak akan ditemui kisah anak SMA yang mendadak sakit perut di hari pertama ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri karena melihat gebetannya selama tiga tahun dari sekolah lain ternyata satu lokasi ujian.

Barangkali gara-gara itu, hasil tes ujian saya masuk Universitas Indonesia gagal! Sialan memang.

Sebenarnya keinginan untuk menghapus blog ini sudah ada sejak tiga tahun lalu, saat seorang wartawan senior menyebut terlalu bahaya membagi cerita dia ruang terbuka. Apalagi menggunakan identitas asli.

Tentu saja dia benar.

Blognya tak pernah pakai identitas asli. "Bisa goncang dunia kalau ada yang tahu," kata dia usia saya membaca blognya dua tahun lalu. Isinya? Memang sangat berbeda dengan penampilannya yang gahar. Tapi begitulah, manusia selalu punya sisi yang tak nampak di luar kebanyakan orang.

Tapi saat itu saya urung menghapus semua artikel di sini. Saya berpikir masih ada waktu menunggu satu tahun lagi, siapa tahu, ini siapa tahu lho, satu orang yang pernah rutin diceritakan dalam blog ini muncul lagi.

Sayang teramat sayang, ternyata sampai akhir tahun lalu, tak pernah ada bayangnya di stasiun seperti yang pernah kami bahas dalam balasan e-mail lima tahun lalu. Rasanya sia-sia percaya.

Selain cerita-cerita menyedihkan, ada juga hal menyenangkan dalam blog yang dibikin pertama kali di warnet deket rumah, 10 tahun lalu. Salah satunya waktu pertama kali ditembak di kampus malam-malam! Karena itu pengalaman pertama dalam hidup, masih lekat geli-geli di perut, haha! Meskipun beberapa bulan setelah itu, sakitnya lebih banyak.

Enggak kerasa, udah ada 364 artikel yang ditulis. Dari yang serius sampai paling receh. Beberapa artikel di sini sempat berbayar. Tapi menulis bebas tentu jadi bagian paling asyik. Menulis sebagai terapi kalau kata mentor saya di kelas semester pendek @daripada.bosen tempo hari.

Saya sepakat.

Sejak SD saya menulis banyak catatan harian karena memang melegakkan. Ada yang diam-diam bukunya dibakar karena takut ketahuan dibaca orang rumah, ada juga yang disimpan sampai sekarang.

Jadi, karena menulis merupakan terapi, tentu saya tak akan berhenti bercerita. Menulis sesuatu yang saya sukai tapi di blog lain dengan nama ciamik yang sudah disiapkan. Kan kata Pramoedya Ananta Toer, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Bukankah itu juga yang bikin Nyai Ontosoroh suka pada Minke di Bumi Manusia?

"Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari," kata dia.

Terima kasih bagi pembaca yang pernah mampir ke sini, meninggalkan jejak, saling berkomentar, dan mengikuti blog masing-masing. Terima kasih juga kepada klien yang pernah mempercayakan produknya diulas di sini, hehe.


Sampai ketemu di halaman berikut!

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments